Sama seperti benua lain, Afrika memiliki beberapa praktik budaya yang menarik. Satu di antaranya adalah anggota suku Maasai di Kenya dan Tanzania Utara. Para penduduk di suku ini saling meludahi sebagai cara untuk memberkati satu dengan yang lainnya.
Melansir dari laman Pulse.ng, Jumat (2/10/2020), ketika seorang anak lahir, orang yang mengunjungi keluarga harus meludahi bayi tersebut. Keyakinannya adalah jika mereka memuji seorang bayi, maka akan dikutuk dan mungkin tidak bertahan lama. Untuk itu, mereka justru akan mengatakan hal hal buruk tentang anak tersebut sambil meludahinya.
Artinya jika seorang anak lahir, semua pengunjung dari suku Maasai harus meludahi bayi yang baru lahir tersebut. Hal itu juga berlaku bagi orang tua anak, termasuk keluarga dan kerabat. Meludahi anak yang baru lahir merupakan cara mereka untuk memberkati bayi dengan keberuntungan dan umur panjang.
Penduduk suku Maasai di Kenya dan Tanzania menganggap meludah sebagai tanda penghormatan dan berkah. Bahkan, mereka telah memasukkannya ke dalam budaya menyapa mereka. Mereka juga meludah ke telapak tangan sebelum berjabat tangan.
Tak hanya itu, para ayah di suku tersebut memberkati anak perempuan mereka pada hari pernikahan dengan meludahi dahi pengantin wanita. Gadis suku Maasai dari Kenya biasanya diberikan atau dinikahkan dengan seorang pria yang jauh lebih tua dari pengantin wanita. Pada upacara pernikahan, ayah atau saudara laki laki pengantin wanita akan meludah di kepala sebagai berkah.
Baru kemudian anak wanita boleh meninggalkan rumah dengan suaminya. Budaya unik sebelum pernikahan juga bisa dijumpai di Suku Mursi. Suku Mursi adalah sebuah suku yangtinggaldi kawasan perbatasan Sudan Selatan.
Ketika seorang gadis dari Suku Mursi beranjak dewasa, dia akan memulai proses peregangan bibir. Gigi bagian bawah gadis tersebut akan dibcabut dan diberi lempengan dari tanah liat yang ukurannya bertambah setiap tahun. Lempengan itu dimasukkan ke dalam bibir sehingga membuatnya meregang.
Dikatakan bahwa semakin besar lempengan, maka semakin tinggi nilai wanita tersebut sebelum dia menikah. Wanita di Suku Mursi hanya memakai lempengan dalam waktu singkat karena sangat berat dan tidak nyaman. Konon, lempengan dari tanah liat tersebut awalnya digunakan untuk mencegah penangkapan oleh pedagang budak.
Praktik tersebut pertama kali dilakukan untuk membuat mereka terlihat jelek ketika pedagang Arab terus menerus menggerebek desa mereka untuk mencari budak. Namun, penjelasan itu ditolak karena penelitian mengungkapkan bahwa lempengan tersebut merupakan simbol status sosial di kalangan masyarakat Suku Mursi.